Biografi Buya HAMKA
dan KARAKTERISTIK TAFSIR AL-AZAR KARYA BUYA HAMKA
Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah seorangulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang
sangat terkenal di Indonesia. Buya HAMKA juga seorang pembelajar yang otodidak
dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan
politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah ditunjuk sebagai menteri agama
dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli
1981 pada umur 73 tahun.
Hamka juga
diberikan sebutan Buya, yaitu
panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa
Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji
Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya
dari Makkah pada tahun 1906. Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa
kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang
keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak
hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota
DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.
RIWAYAT PENDIDIKAN HAMKA
HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika
usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di
situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah
mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal
seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.
Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sejak
muda, HAMKA dikenal
sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada
usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam
modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH
Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan
Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.
RIWAYAT KARIER HAMKA
HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun
1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang,
HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957- 1958. Setelah itu,
beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor
Universitas Mustopo, Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah
ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa
KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai
perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau
menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26
Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai
Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu
pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
RIWAYAT ORGANISASI HAMKA
HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui
organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun
1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padan g
Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang
Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah
dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian
beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat
oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946.
Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.
AKTIVITAS POLITIK HAMKA
Kegiatan
politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai
politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha
kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam
hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan
Pertahanan Nasional, Indonesia.
Pada tahun
1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi
pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering
bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai
beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama
Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA
ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden
Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan
berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden
Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan
oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah
menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang
menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang
mempertanyakan sikap HAMKA. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga
tak perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang
dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno
adalah seorang muslim.
Dari tahun
1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden
Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa
dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah
terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan
Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji
Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda
pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan,
yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun
1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang
melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak
keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana
pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta
Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur
sebagai Ketua MUI.
AKTIVITAS SASTRA HAMKA
Selain aktif dalam soal keagamaan dan
politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak
tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita
Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam
dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah
Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke
berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa
roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di
Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat
roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang
mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan
Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang
sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
AKTIVITAS KEAGAMAAN
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya
pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total berperan sebagai ulama. Ia
meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat
sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik
Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih
menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.
HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak
pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya.
Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan
pesan-pesan moral Islam.
Ada satu yang
sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang
diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu
sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA
berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis
fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti
di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan
PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh
Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah
dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta
yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan
tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika
tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih
banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
WAFATNYA HAMKA
Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang
ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam
memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh
ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero
Nusantara, ter masuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
PENGHARGAAN
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah
menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas
al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan
Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari
pemerintah Indonesia
PANDANGAN HAMKA TENTANG KESASTRAAN
Pandangan
sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA
menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya
khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki
kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
BUAH PENA BUYA HAMKA
Kitab Tafsir
Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari
118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA semasa hidupnya. Tafsir tersebut
dimulainya tahun 1960.
HAMKA meninggalkan karya tulis segudang.
Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan
Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam,
Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi),
akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf
Modern).
Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah
http://vakho.multiply.com/journal/item/2/Biografi_HAMKA
http://luluvikar.wordpress.com/2005/08/01/biografi-buya-hamka/
http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=23
http://semangatbelajar.com/biografi-buya-hamka/
http://vakho.multiply.com/journal/item/2/Biografi_HAMKA
http://luluvikar.wordpress.com/2005/08/01/biografi-buya-hamka/
http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=23
http://semangatbelajar.com/biografi-buya-hamka/
·
KARAKTERISTIK
TAFSIR AL-AZAR KARYA BUYA HAMKA
Tafsir Al-Azhar adalah sebuah
tafsir yang pada mulanya merupakan
materi yang di sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh Haji
Amirullah Abdul Karim di masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta sejak tahun
1959. Ketika itu masjid tersebut belum dinamakan Masjid Al-Azhar.Dalam waktu
yang sama bulan Juli 1959 Hamka bersama KH. Fakih Usman dan HM. Yusuf Ahmad
(Menteri Agama dalam kabinet Wilopo 1952, Wafat tahun 1968 ketika menjabat
ketua Muhamadiyyah) menerbitkan majalah “Panji
Masyarakat” yang menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan
Agama Islam.
Penerbitan ceramah-seramah
Hamka terhenti dalam majalah tersebut disebabkan pada hari senin 12 Romadhan
1383 atau 27 Januari 1964, ia ditangkap oleh penguasa Orde lama pada saat
setelah memberikan pengajian di masjid al-Azhar dan pada akhirnya beliau
dijebloskan dalam penjara. Dalam tahanan, Hamka tidak membuang waktu dengan
percuma, beliau isi dengan membuat karya lanjutan dari tafsit al-Azhar.Kondisi
kesehatan Hamka dalam tahanan kian lama kian menurun, sehingga membuat ia harus
dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan Rawamangun, Jakarta.
Dalam suasana perawatan, Hamka
melanjutkan kembali penulisan dari tafsir al-Azhar. Tak lama setelah itu Orde
Lamapun tumbang digantikan dengan Orde Baru, dan pada akhirnya di bawah
pimpinan Suharto Hamka dibebaskan. Dalam suasana bebas, Hamka kembali mengedit
ulang tafsir al-Azhar.
Tafsir al-Azhar pertama kali
diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan H. Mahmud. Dalam penerbitan
ini hanya merampungkan juz pertama sampai juz keempat. Setelah itu diterbitkan
juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 dengan penerbit yang berbeda yakni Pustaka
Islam, Surabaya. Pada akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan dengan
penerbit yang berbeda pula yakni Yayasan Nurul Islam, Jakarta.
Dilihat dari metode penafsiran
yang dipakai, tafsir ini menggunakan metode tahlili sebagai pisau analisisnya,
terbukti ketika menafsirkan surat al-Fatihah ia membutuhkan sekitar 24 halaman
untuk mengungkapkan maksud dan kandungan dari surat tersebut. Berbagai macam
kaidah-kaidah penafsiran dari mulai penjelasan kosa kata, asbab an-nuzul ayat,
munasabat ayat, berbagai macam riwayat hadits, dan yang lainnya semua itu disajikan oleh Hanka dengan cukup
apik, lengkap dan mendetail. Dalam menggunakan metode penafsiran, Hamka
sebagaimana diungkapkannya dalam tafsirnya ia merujuk atau “berkiblat” pada
metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar yakni metode tahlili (analitis).
Berkiblatnya Hamka dalam menggunakan metode penafsiran terhadap tafsir
al-Manar, membuat corak yang dikandung oleh tafsir al-Azhar mempunyai kesamaan.
Untuk lebih jelas tentang
komentar Hamka terhadap tafsir al-Manar adalah sebagai berikut: Tafsir yang
amat menarik hati penafsir buat dijadikan contoh ialah tafsir al-Manar karangan
Sayyid Rasyid Ridho, berdasarkan kepada ajaran tafsir gurunya Syaikh Muhammad
Abduh. Tafsir beliau ini, selain dari menguraikan ilmu berkenaan dengan agama,
mengenai hadits, fikih dan sejarah dan lain-lain, juga menyesuaikan ayat-ayat
itu dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan yang sesuai dengan zaman di
waktu tafsir tersebut dikarang.
Adapun dilihat dari corak
penafsiran, tafsir al-Azhar mempunyai corak
Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat
al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti, menjelaskan makna-makna yang
dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik, tafsir ini berusaha
menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial
dan sistem budaya yang ada. Hal tersebut bisa dilihat ketika Hamka
menafsirkan QS: al-Syura: 51-52. Hamka
dalam menafsirkan ayat tersebut mengkontekstualisasikan dengan berkomentar
tentang KB, menurutnya boleh atau tidaknya KB tergantung dengan alasan yang
dipakai atau kuantitas dari mudharatnya.
Pada ayat 28 surat yang sama,
ia menafsirkan “turunnya hujan setelah masa kekeringan” bukan hanya hujan
secara fisik tetapi menurutnya adalah datangnya kelonggaran setelah masa
kesusahan atau kesempitan, seperti yang terjadi pada bangsa Indonesia yang
sebelumnya dijajah kini telah merdeka dan terbebas dari penjajah. Demikian pula
ketika ia menafsirkan QS: Al-Dukhan: 16, ia menafsirkan dengan mengaitkan
peristiwa yang terjadi pada waktu itu yaitu tragedi pengeboman yang terjadi di Hirosima
dan Nagasaki Jepang. Dan masih banyak penafsiran ayat-ayat lainnya yang beliau
kaitkan dengan kondisi yang terjadi ketika tafsir ini disusun oleh penulisnya
yakni Hamka.
Unsur kelebihan yang terdapat
dalam tafsir al-Azhar karya Hamka diantaranya adalah: Dalam penyajiannya Hamka
terkadang membicarakan permasalan, antropologi, sejarah; seperti ketika
menafsirkan lafad “Allah” ia mengaitkan dengan sejarah Melayu dengan mengutip
sebuah tulisan klasik yang terdapat pada batu kira-kira ditulis pada tahun
1303, atau peristiwa-peristiwa kontemporer. Sebagai contoh ketika ia
menafsirkan tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok
nasionalis di Asia pada abad ke-20.
Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Howard M. Federspiel, tafsir yang ditulis oleh Hamka mempunyai
kelebihan yaitu diantaranya, tafsir ini menyajikan pengungkapan kembali teks
dan maknanya serta penjelasan dalam
istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari teks. Di
samping itu semua, tafsir ini dilengkapi materi pendukung lainnya seperti
ringkasan surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi apa yang
dibicarakan dalam surat-surat tertentu dari al-Qur’an.[10] Dalam tafsir ini
juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya pada hampir semua
disiplin bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah juga dengan
pengetahuan-pengetahuan non-keagamaannya yang begitu kaya dengan informatif.
Karakteristik tersebut
sebagaimana diungkapkan oleh Karel Steenbrink bahwa secara umum, Hamka dalam
melakukukan tekhnik penafsirannya “mencontoh” tafsir al-Manar karya rasyid
Ridho dan tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Dan yang terakhir Hamka
lebih banyak menekankan pada pemahaman ayat secara menyeluruh. Oleh karena itu
dalam tafsirnya Hamka lebih banyak mengutip pendapat para ulama terdahulu.
Sikap tersebut diambil oleh Hamka karena menurutnya menafsirkan al-Qur’an tanpa
melihat terlebih dahulu pada pendapat para mufassir dikatakan tahajjum atau
ceroboh dan bekerja dengan serampangan.
Adapun di antara kekurangan
dari tafsir al-Azhar adalah pada usaha penterjemahan ayat. Nampaknya Hamka
dalam melakukan penterjemahan menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemhan
seperti itu terkadang membuat terjemahan kurang jelas dan sulit ditangkap
maksudnya secara langsung. Misalnya ketika Hamka menterjemahkan QS: Al Syura:
42. Artinya: “Ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang menganiaya manusia
dan berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menurut hak. Bagi mereka itu
adzab yang pedih.”
Jika membaca karya tafsir
Al-Azhar milik Hamka ini terasa kita sebagai orang Indonesia bangga sebagai
umat Islam Indonesia. Meskipun Indonesia dilihat dari sisi geografisnya jauh
dari pusat Islam—dengan tidak mengatakan Islam Indonesia sebagai Islam
pinggiran, akan tetapi ulama-ulama dan karya-karya yang muncul ternyata tidak
kalah kualitasnya dengan karya-karya yang muncul di belahan bumi Timur Tengah.
Akan tetapi harus diakui bahwa sampai saat ini mainstream Timur Tengah masih
melekat dalam karya-karya tafsir yang muncul di Indonesia, termasuk di dalamnya
tafsir Al-Azhar sendiri. Penerapan metodologi penafsiran, corak tafsir, model
atau pola penafsiran, ternyata masih mengikuti gaya yang berkembang di Timur
Tengah khususnya di Mesir. Meskipun begitu keunikan tafsir Al-Azhar adalah
mencoba mendialogkan antara teks al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat
tafsir ini ditulis. Dengan pola ini, nampaknya Hamka berkeinginan agar tafsir
ini dapat mampu memberikan solusi atau respon terhadap permasalahan yang
dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Dari kelebihan ini-lah maka tafsir Al-Azhar
bisa dimasukkan sebagai katagori tafsir modern di Indonesia.
Corak Tafsir Buya Hamka. Agama
bersifat netral, tidak memihak, dia hanya menjelaskan pengertian raj’i.
Sementara Hamka dalam menjelaskan ayat itu, beliau menggunakan contoh-contoh
yang hidup di tengah masyarakat, baik masyarakat kelas atas seperti raja,
rakyat biasa, maupun secara individu. Berdasarkan fakta yang demikian, tafsir
Hamka dalam menjelaskan ayat itu bercorak sosial kemasyarakatan (adabi
ijtima’i).
Karakteristik Tafsir Al-Azhar.
Tafsir al-Azhar merupakan karya Hamka yang memperlihatkan keluasan pengetahuan
beliau, yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber
penafsiran yang dipakai oleh Hamka antara lain, al Qur’an, hadits Nabi,
pendapat tabi’in, riwayat dari kitab tafsir mu’tabar seperti al-Manar, serta
juga dari syair-syair seperti syair Moh. Iqbal. Tafsir ini ditulis dalam bentuk
pemikiran dengan metode analitis atau tahlili. Karakteristik yang tampak dari
tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i
(social kemasyarakatan) yang dapat disaksikan dengan begitu kentalnya warna
setting sosial budaya Minangnya yang ditampilkan oleh Hamka dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir al-Azhar sangatlah
berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Mulai dari sudut pemikiran sampai sudut
bahasa yang digunakan dalam menafsirkan pun sangatlah berbeda. Oleh karena itu,
kami akan membandingkan tafsir al-Azhar ini dengan tafsir al-Misbah. Tafsir
al-Misbah memiliki karakteristik sudut pemikirannya mendalam dan dilengkapi
oleh data-data kontemporer (modern) sedangkan Tafsir al-Azhar memiliki
karakteristik sudut pemikirannya selalu menggiring seseorang kepada tasawuf
(karena berangkat dari setting sosial politik pada saat tafsir ini ditulis dan
untuk selamat dari kondisi seperti itu, maka seseorang harus terjun ke dalam
tasawuf).
Contoh Penafsiran Hamka:
Penafsiran Buya Hamka terhadap ayat-ayat Amar Ma’rûf nahî Munkar dalam Tafsir
al-Azhar. Menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar, kata ma’rûf (معروف) berasal dari kata urf (عــرف) artinya “yang
dikenal,”atau“yang dapat dimengerti dan dapat dipahami serta diterima oleh
masyarakat.” Dalam pengertian lain, ma’rûf (معروف)
berarti perbuatan yang patut, pantas dan sopan yang berlaku secara umum. Lebih
lanjut Hamka menjelaskan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan baik (معروف) jika perbuatan itu dapat
diterima dan dipahami oleh manusia, dan dipuji. Perbuatan itu patut diterima
dan dipahami ma-nusia karena memang perbuatan baik (معروف) itulah yang patut dikerjakan
oleh manusia yang berakal. Kebalikan dari kata ma’rûf (معروف) adalah kata mun¬kar (مـنـكـر), berarti yang dibenci, yang
tidak disenangi atau ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut, tidak pantas.
Tidak selayaknya yang demikian itu dikerjakan oleh manusia berakal; segala
gejala-gejala buruk yang tidak diterima oleh masyarakat secara akal sehat.
Demikian sekilas penjelasan mengenai pengertian ma’rûf (معروف) dan munkar (مـنـكـر) menurut Hamka.
Seperti diketahui bahwa ayat
amar ma’rûf nahî munkar dituliskan secara bersambung disebutkan dalam al-Qur’ân
pada lima surat, yaitu al-‘Araf ayat 157, Luqman ayat 17, Ali Imran ayat104,
110, dan 114, al-Hajj ayat 103, dan 103, serta al-Taubah ayat 67, 71, dan 112.
Masing-masing ayat mempunyai konteks dan situasi yang berbeda. Meskipun begitu,
semua ayat ini menyerukan agar mengerjakan perbuatan yang ma’rûf dan menjauhi
perbuatan keji yang dilarang oleh Allâh SWT. Pada surat al-A’râf ayat 157,
sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini, konteks amar ma’rûf dan nahî munkar
menjelaskan tentang keberadaan Nabi Muhamad saw sebagai seorang rasul Tuhan.
Nabi Muhamad saw adalah seorang yang ummî (yang tidak pandai menulis dan
membaca) yang telah disebutkan bahwa beliau akan datang sebagai Nabi akhir
zaman di dalam Taurat dan Injil. Risalah yang akan dibawa oleh Nabi akhir zaman
itu ialah yang menyuruh akan mereka “berbuat yang ma’rûf dan mencegah akan
mereka yang munkar”.
Kalimat يامرهـم با
لمعـرو ف
و يـنـهــهـم
عـن المـنكـر yang terdapat dalam surat al-‘Arâf ayat 157
seperti tersebut di atas, menjelaskan tentang peran yang telah dimainkan oleh
para nabi dan rasul, seperti nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhamad saw yang
ummi, dalam menjalankan risalah atau nubuwah kepada umat manusia. Sebagai nabi
yang ummi, beliau juga mendapat tugas untuk menyebarkan risalah ketuhanan
kepada umat manusia, termasuk ke-pada para ahl al-kitab. Dalam konteks ini,
Hamka menjelaskan bahwa sebagai nabi yang ummi, tugas berat yang diemban nabi
Muhamad saw, akan selalu menghadapi risiko. Tetapi, seberat apapun risiko itu,
nabi siap menanggungnya, karena beliau telah mendapatkan amanah untuk
melaksanakan yang ma’rûf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر).
Menurut Hamka, kata ma’rûf (معروف) yang terdapat dalam surat
ini, berarti yang dikenal atau patut untuk dilakukan. Dalam konteks amar ma’rûf
nahî munkar, ditafsirkan oleh Hamka dengan kalimat sehaja. Apabila suatu
perintah datang kepada manusia yang berakal budi, langsung disetujui oleh
hatinya, karena hati nurani mengenalnya sebagai suatu yang baik, yang memang
patut dikerjakan. Oleh karena itu, segala perintah yang dikerjakan oleh nabi
yang ummi, pastilah sesuai dengan jiwa, sebab jiwa mengenalnya sebagai suatu
yang baik. Di antara contoh yang diberikan Hamka adalah perintah shalat dan
membayar zakat. Nabi Muhamad dan umatnya diperintahkan untuk melaksanakan
shalat, karena shalat adalah pekerjaan yang patut dilakukan. Begitu juga
pemberian zakat, karena memang masyarakat miskin perlu mendapat bantuan. Dengan
kalimat pendek Hamka menyimpulkan bahwa tidak ada suatu perintahpun yang tidak
ma’rûf (معروف) kepada jiwa, kecuali jiwa
yang sakit.
Selanjutnya ayat–ayat yang
menjelaskan amar ma’rûf nahî munkar (الامـربـالـمـعـروف وا
لنهى عن
الـمـنكر secara berurutan ialah surat
Âli ‘Imrân ayat 104, 110, dan 114. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ
أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ
إِلَى ٱلْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ
ٱلْمُنكَرِ ۚ
وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ
ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung” QS.
Ali-Imran: 104.
كُنتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ ٱلْمُنكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ
ۗ وَلَوْ
ءَامَنَ أَهْلُ
ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ
خَيْرًۭا لَّهُم
ۚ مِّنْهُمُ
ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ
ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. QS Ali-Imran:110.
يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ
وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ
وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ
ٱلْمُنكَرِ وَيُسَٰرِعُونَ
فِى ٱلْخَيْرَٰتِ
وَأُو۟لَٰٓئِكَ مِنَ
ٱلصَّٰلِحِينَ
Mereka beriman kepada Allah dan
hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu
Termasuk orang-orang yang saleh. QS. Ali-Imran: 114.
Pada surat Âl-Imrân ayat 104,
menurut Hamka, terdapat hal penting yang menjadi tugas dan kewajiban umat
manusia, yaitu melakukan dakwah. Suatu golongan yang terdapat dalam ayat tersebut,
yaitu ummat, memiliki tugas dan kewajiban untuk mengajak dan membawa manusia
kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), yaitu perbuatan yang patut,
pan-tas dan sopan, dan mencegah, melarang perbuatan munkar (مـنـكـر), yang dibenci dan yang tidak
diterima oleh akal dan jiwa yang sehat. Menurut Hamka, dalam konteks ayat
tersebut, terdapat dua kata penting, yaitu menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), dan mencegah perbuatan
munkar (مـنـكـر). Kata ma’rûf (معروف), diambil dari kata ‘urf (عـرف (yang berarti dikenal atau
yang dapat dimengerti, dapat dipahami serta dapat diterima oleh manusia, dan
dipuji. Karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal.
Sedang yang munkar, (مـنـكـر), artinya yang dibenci, yang
tidak dise-nangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut dan tidak
pantas untuk dikerjakan. Oleh karena itu, menurut Hamka lebih lanjut, kalau ada
orang berbuat ma’ruf, seluruh masyarakat, umumnya menyetujui, membenarkan dan
memuji. Sebaliknya, kalau ada perbuatan munkar, seluruh masyarakat menolak,
membenci dan tidak menyukainya.
Untuk mengatasi masalah ini,
Hamka memberikan sebuah tips, yaitu pengetahuan keagamaan dan sikap
keberagamaan. Menurutnya, semakin tinggi kecerdasan beragama, bertambah kenal
orang akan yang ma’ruf, dan bertambah benci kepada yang munkar. Untuk itu,
hendaknya dalam suatu masyarakat, ada sekelompok umat yang bertugas dan bekerja
keras untuk menggerakkan masyarakat agar mereka berbuat yang ma’ruf, dan
menjauhi yang munkar, supaya masyarakat itu bertambah tinggi nilainya.
Kesimpulan yang disampaikan
oleh Hamka dalam penafsirannya pada surat Âli Imrân ayat 104 dalam tafsir
al-Azhar adalah bahwa الامـربـالـمـعـروف وا
لنهى عن
الـمـنكر itu adalah menyeru untuk
melakukan ke-bajikan dan mencegah kemunkaran. Menyeru atau mengajak merupakan
aktivitas dakwah. Dengan dakwah, ada dinamika kehidupan umat Islam, menjadi
lebih dinamis dan agama menjadi hidup. Sebaliknya, apabila tidak ada dakwah,
maka tidak ada dinamika kehidupan beragama. Karena itu, haruslah ada sekelompok
orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan. Dalam konteks dakwah,
Hamka tampaknya membagi bidang garapan dakwah menjadi dua, yaitu; umum, adalah
untuk kalangan masyarakat umum, dan khusus, untuk keluarga sendiri. Dakwah yang
bersifat umum adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat serta mengajak
mereka untuk memahami hikmah ajaran Islam yang benar, serta menangkis tuduhan
yang tidak benar yang diarahkan kepada agama Islam. Sedang dakwah yang bersifat
khusus, ditujukan kepada keluarga sendiri, agar patuh kepada Tuhan.
Di dalam ayat 104 surat
Âl-Imrân ini terdapat 3 (tiga) kewajiban, yaitu menyuruh berbuat ma’ruf (معروف), melarang berbuat munkar(مـنـكـر), dan ketiga mengajak kepada
kebaikan (الخـيـر) Menurut Hamka, ketiga
kewajiban itu, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkarالامـربـالـمـعـروف وا لنهى
عن الـمـنكر,
semua berpusat pada yang satu, yaitu يـدعـون الى
الـخـيـرmengajak pada ke-baikan.
Menurut Hamka, yang dimaksud dengan kata (الخـيـر) yang berarti kebaikan, yang
dimaksud di dalam ayat ini adalah Islam, yaitu me¬mupuk kepercayaan dan iman
kepada Tuhan, termasuk tauhid dan ma’rifat. Hal itulah, menurut Hamka sebagai
hakikat kesadaran beragama yang menimbulkan pengetahuan sehingga dapat
membedakan mana yang baik, yang ma’ruf (معروف), dan mana yang tidak baik,
yaitu munkar (مـنـكـر). Di sinilah, menurut Hamka
pentingnya juru dakwah atau da’i memberikan penjelasan kepada masyarakat
mengenai ajaran agama Islam yang sebenarnya, sehingga masyarakat memiliki
pengetahuan dan kesadaran beragama yang tinggi. Dengan kesadaran beragama yang
tinggi, maka akan berdampak pada sikap dan perilaku seseorang dalam
bermasyarakat, sehingga ia memiliki keberanian untuk melakukan kebaikan dan
mencegah keburukan. Sebaliknya, apabila sikap keberagamaan masyarakat belum
tumbuh dan masih rendah, maka percuma saja menyebut yang ma’rûf (معروف), dan menentang yang munkar.
Sebab, menurut Hamka untuk membedakan yang ma’rûf (معروف), dengan yang munkar (مـنـكـر) tidak ada lain kecuali ajaran
Islam.
Kalimat يـدعـون الى
الـخـيـر امـة
, artinya umat mengajak pada kebaikan yang terdapat pada surat Âl-Imrân ayat
104, menurut Hamka memiliki dua kata penting, yaitu ummatun (امـة ) dan kedua kata yad’ûna يـدعـون . Dari ayat ini dapat dipahami
bahwa dikalangan umat Islam yang besar jumlahnya, hendaklah ada segolongan umat
yang menjadi inti, yang kerjanya khusus mengadakan dakwah, atau seluruh umat
ini sendiri sadar akan kewajibannya yaitu melaksanakan dakwah. Sebab kehidupan
agama, kemajuan dan kemundurannya sangat tergantung pada dakwah. Pelaksanaan
dakwah yang dimaksudkan Hamka tidak hanya kegiatan dakwah ke dalam, yaitu
dakwah di kalangan umat Islam sendiri, juga dakwah ke masyarakat luar Islam.
Tujuannya, bila dakwah ke dalam, diharapkan umat Islam semakin kuat kesadaran
beragamanya, sehingga mampu melakukan yang ma’ruf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر). Sedang dakwah ke luar Islam
tujuannya agar masyarakat non-muslim memahami posisi Islam sebagai sebuah agama
damai dan memberikan pengertian tentang hakikat kebenaran Islam kepada
orang-orang yang belum memeluknya.
Seperti ditegaskan sebelumnya
bahwa Hamka mengartikan kata ma’ruf (معروف) dengan suatu perbuatan baik
yang diterima oleh masyarakat dan akal sehat. Oleh karena itu, menurutnya,
seorang da’i apabila berdakwah hendaklah ia mengeluarkan pendapat umum yang
sehat atau public opini yang sehat dan dapat diterima masyarakat umum.
Diharapkan dengan adanya kegiatan dakwah, akan terbentuk masyarakat yang sehat.
Bila amar ma’ruf nahi munkar الامـربـالـمـعـروف وا
لنهى عن
الـمـنكر, terhenti, sebagai bagian dari
aktivitas dakwah, maka hal itu dapat dijadikan sebagai indikator masyarakat
yang sedang sakit. Oleh sebab itu, lanjut Hamka, mereka yang melakukan kebaikan
(الـخـيـر) dan melaksanakan amar ma’ruf
nahi munkar, adalah mereka yang akan memperoleh kemenangan. Karena mereka telah
melakukan amar ma’ruf nahi munkar الامـربـالـمـعـروف وا
لنهى عن
الـمـنكر , dan mengajak pada kebaikan,
sehingga keburukan dapat dihindari atau dikalahkan, sehingga umat menjadi
pelopor kebajikan di dalam dunia.
Dalam konteks ini ayat tersebut
di atas, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Pertama,
mengajak orang kepada al-khair (يـدعـون الى
الـخـيـر). Kedua, mengajak orang kepada
yang al-ma’rûf (الامـربـالـمـعـروف). Ketiga, mencegah orang dari
al-munkar (وا لنهى
عن الـمـنكر).
Dari terjemahan ayat tersebut, lafal atau kata al-khair (الـخـيـر) dan lafal al-ma’rûf الـمـعـروف menurut harfiahnya sama, yaitu
kebaikan. Terdapat dua ka-ta yang berbeda akan tetapi memiliki pengertian sama.
Oleh karena itu, ke-simpulan umum yang hendak dijelaskan pada ayat ini adalah
suatu kewajiban bagi umat Islam untuk menyampaikan yang ma’ruf (معروف) dan melarang perbuatan yang
munkar(مـنكر). Karena perbuatan demikian
merupakan ujung tombak dari dakwah Islam, yakni menyampaikan yang baik dan
melarang kepada yang munkar.
Terdapat beberapa faktor yang
mendorong Haji Abdul Malik Karim Amrullah untuk menghasilkan karya tafsir
tersebut. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam
mukadimah kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginan beliau untuk menanam
semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat
berminat untuk memahami al-Qur’an tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka
menguasai ilmu Bahasa Arab. Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini
juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah
serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil
daripada sumber-sumber Bahasa Arab.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah
memulai Tafsir al-Azharnya dari surah al-Mukminun karena beranggapan
kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir
tersebut semasa hidupnya. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di
Masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini
terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana Masjid tersebut telah
dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Haji Abdul Malik Karim Amrullahisme”.
Pada tanggal 12 Rabi’ al-Awwal 1383H/27 Januari 1964, Haji Abdul Malik Karim
Amrullah ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada
negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Haji Abdul
Malik Karim Amrullah karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.
Tafsir al-Azhar merupakan karya
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang memperlihatkan keluasan pengetahuan
beliau, yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber
penafsiran yang dipakai oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah antara lain,
al-Qur’an, Hadits Nabi, pendapat Tabi’in, riwayat dari kitab tafsir mu’tabar
seperti al-Manar dan Mafatih al- Ghayb, serta juga dari syair-syair seperti
syair Moh. Ikbal. Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran dengan metode
analitis atau tahlili. Karakteristik yang tampak dari tafsir al-Azhar ini
adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i (sosial kemasyarakatan
tafsir yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh) yang dapat dengan begitu
kentalnya warna setting sosial budaya Indonesia yang ditampilkan oleh Haji
Abdul Malik Karim Amrullah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an